<$BlogRSDURL$>

Darmawan Soetjipto

Jakarta / Warga Epistoholik Indonesia

Sunday, April 11, 2004

Selamat datang di situs blog saya,
sebagai warga Epistoholik Indonesia.



Nama saya, Darmawan Soetjipto, berdomisili di Jakarta. Sekedar info, saya menyelesaikan kuliah di Universitas Indonesia (UI) tahun 1956 dan secara popular kami tergolong generasi Glenn Miller, tokoh yang dikenal sebagai musisi Perang Dunia II ( dia tewas dalam kecelakaan pesawat terbang karena ditembak). Sesudah selesai kuliah kami kemudian menjadi Pegawai Negeri dan pensiun selaku PNS tahun 1990.

Jadi kami ini termasuk salah seorang dari kira-kira 2 juta wredatama di negei ini, yang menurut Bambang Haryanto disebutnya sebagai “untapped resources” atau sumber daya informasi, pengetahuan, kearifan (wisdom) dan sikap kebijakan yang jika dikelola dengan baik sangat bermanfaat bagi kehidupan bersama.


Mengapa kami sampai tertarik menulis surat-surat pembaca, tidak lain karena kita selalu dihadapkan suatu dorongan keras (urge) untuk membagi apa yang kami ketahui untuk disebar pada pembaca yang lain (sharing of knowledge).


Banyaknya surat yang pernah kami tulis kira-kira mendekat angka 100 surat pembaca. Kebiasaan ini memang telah terintis sejak kami bergerak semasa mahasiswa dan kemudian lebih aktif dikerjakan setelah kami purna tugas. Kebiasaan ini tidak lain adalah sedikit banyak hasil budaya membaca sejak masa remaja.

Pengalaman selama berkirim surat pembaca memang cukup bervariasi dari reaksi para teman yang tidak menyetujui gagasan yang kami lontarkan dalam tulisan maupun kedatangan keluarga tokoh yang pernah kami ungkapkan dalam suatu tulisan.

Minat khusus isi surat pembaca yang kami kirim kebanyakan didominasi isu atau bahasan mengenai masalah kebangsaan dalam rangka pembangunan nasional dan karakter bangsa (national and character building) khususnya tentang peran otobiografi tokoh-tokoh yang pernah berjasa dalam perjuangan bangsa yang lalu.

Untuk Anda pembaca yang budiman, saya haturkan selamat menjelajahi album surat-surat pembaca yang saya tulis dalam situs ini. Silakan memberi komentar, masukan dan saran, saya akan selalu menyambutnya dengan terbuka dan penuh kegembiraan. Terima kasih.

Hormat dan salam saya,

Jakarta, 15 Februari 2004



Darmawan Soetjipto



----------------------

TYPE PEMIMPIN BARU
Dikirimkan ke Harian Media Indonesia (Jakarta) dan Majalah TEMPO (Jakarta),
April 2004


Taufik Rahzen, budayawan asal Lombok pernah dalam suatu polemik kebudayaan pernah menyinggung pengaruh para pemimpin terhadap kebudayaan. Menurut pandangannya generasi Soekarno - Hatta, Syahrir bahkan Sosromartono pernah berperan dalam proses akulturasi kebudayaan bangsa melalui berbagai wacana dan karya tulisannya. Tokoh-tokoh di atas dimasa lalu melalui bacaan banyak menulis dan mencoba meramu aspek kebudayaan nasional dengan berbagai pengaruh budaya luar.

Dari sudut ini ada pula ungkapan DR.Abd.Rivai yang tercantum dalam majalah "Bintang Hindia" tahun 1902 tentang hadirnya suatu type pemimpin baru pada tahun-tahun itu.

Menarik analisanya bahwa pada permulaan abad 20 hadir suatu kasta bangsawan baru. Karena dahulu dikenal bangsawan yang berdasarkan keturunan darah saat lahir tahun-tahun yang dikenal sebagai "bangsawan pemikir". Golongan ini adalah tokoh-tokoh yang banyak membaca, berfikir dan menulis tentang hasil bacaannya. Tidak itu saja. Dirintis kemudian wacana yang diupayakan untuk diterapkan dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.

Sangat fenomenal karena akhir-akhir ini ada suatu tokoh ditanah air yang memenuhi kriteria tersebut. Menjalani karier yang cukup cemerlang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), nampaknya kecuali cukup mendalami soal-soal akademis dikenal pula rajin membaca.

Perpustakaan miliknya sebanyak 11.000 buku di Puri Cidean ABRI menjadi bukti nyata tentang kegemarannya ini. Dari kebiasaan menyimak literatur yang kaya nilai budaya-budaya ini dapat dimengerti sosok SBY yang membawakan diri sebagai tokoh yang moralistis dan sarat etika.

Stok pemimpin yang berwatak demikian memang sangat langka. Dan rakyat dalam suasana garang mencari pegangan dan sangat mendambakan sosok yang mencerminkan unsur-unsur kejujuran dan bersih.

Sukur jika sekaligus dapat memberikan pencerahan untuk keluar dari kegelapan. Keadaan yang diakibatkan multikrisis terutama dibidang moral yang berkepanjangan.

Mudah-mudahan ringkasan penampilan SBY yang mengusung nilai-nilai sebagai bangsawan "pemikir" dapat jadi panutan akhirnya pemimpin muda bangsa demi kelangsungan kehidupan bangsa.

Terima kasih.

Darmawan Soetjipto
Cipete Selatan
Jakarta Selatan

---------------------


posted by bambang  # 5:46 AM

Wednesday, February 04, 2004

MENYAMBUT EPISTOHOLIK INDONESIA !
Dikirimkan Kepada Majalah Tempo, 12 Januari 2004


Terus terang kami cukup terperangah membaca cermat tulisan Sdr. Bambang Haryanto berjudul “Untuk penulis surat pembaca” yang dimuat Tempo 5 - 11 Januari 2004. Tiada lain karena hampir 12 tahun lalu artikel TIME 6 April 1992 tentang “Profil Epistoholic” memang memukau dan menarik ekstra perhatian. Selepas membaca artikel itu, kami kala itu menulis sepucuk surat kepada seorang sastrawan terkenal ibukota dan mengusulkan pembentukan suatu Ikatan Penulis Surat Pembaca. Sayang karena satu dan lain hal surat itu tidak pernah terjawab dan pupuslah ide itu ditelan perjalanan waktu.

Syukurlah ide yang sama nampaknya kini diprakarsai oleh seorang “lokal genius” asal Wonogiri. Meneliti isi surat diatas, terungkap bahwa Sdr. Bambang Haryanto telah mengadakan persiapan cukup matang untuk SOP merintis suatu keorganisasian EC.

Menurut pengamatan kami cetusan ide EC ini tepat momentum mengingat perkembangan T.I (Teknologi Informasi) cepat membuka kemungkinan-kemungkinan luas yang tadinya tidak terbayangkan untuk berkomunikasi. Melalui kiriman surat ini kami sampaikan selamat atas prakarsa Sdr. Bambang Haryanto dan enthousias menyatakan dukungan sepenuhnya. Guna merealisir dukungan ini sangat kami harapkan perincian syarat-syarat untuk jadi anggota EC diatas.

Mudah-mudahan dukungan serupa disusul pula oleh para penulis surat pembaca(pensupem) lainnya di ibukota dalam rangka ikut memberikan sumbangsih pencerahan dan ikut serta mencerdaskan bangsa melalui media pers.


Terima kasih.

Darmawan Soetjipto
Cipete Selatan
Jakarta Selatan

------------------

BANGGA MENJADI ORANG INDONESIA
Dimuat di Media Indonesia, tanpa data tanggal.

Di tahun 1950-an "John Guenther" dalam bukunya "Inside Asia" pernah melontarkan pendapat yang cukup menarik mengenai Indonesia. Andaikata John Guenther di masa itu boleh memilih maka pilihannya adalah menjadi pemuda di Indonesia.Begitu tinggi apresiasi dan simpati dunia terhadap masa depan Indonesia yang baru selesai dan lahir sebagai bangsa melalui suatu revolusi. Bagaimana Indonesia kini ?

Dengan hati kesal kadang-kadang kita saksikan sekarang bahwa ada sekelompok warga mengingat situasi Indonesia yang makin hari makin amburadul begitu pesimis dan malu menjadi orang Indonesia. Sikap yang 180 derajat berseberangan dengan pendapat John Guenther diatas.

Sehubungan hal diatas ada suatu fakta yang perlu disimak. Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia Sri Moertiningsih Adioetomo dalam makalahnya "Komitmen Program KB Jangka Panjang" mengetengahkan bahwa penduduk Indonesia pada periode 2020 - 2025 akan mencapai 285 juat orang.Jelas angka ini berimplikasi bahwa jika tidak ada aral melintang Indonesia menjadi negara berpenduduk terbanyak no.3 di dunia bahkan melampaui AS.

Jangan disia-siakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa menjadikan Indonesia ditakdirkan berpenduduk demikian besar. Bukan waktunya kita bertopang dagu dan saling mencerca dan menambah beban bangsa dengan membeber-beberkan kejadian-kejadian yang condong negatif.

Mari kita contoh prakarsa para wartawan dengan deklarasinya "Bersatulah Bangsaku" tanggal 20 September 2002 dan kesemuanya saja pemimpin/rakyat menyingsingkan lengan mencoba berbuat yang paling baik bagi negeri ini dan kembali berbangga menjadi orang Indonesia.
Sekian terima kasih.

Darmawan S.
Cipete Selatan, Jaksel

---------------------

MENCARI PEMIMPIN IDEAL
Dimuat di Tabloid Cek & Ricek, tanpa data tanggal.

Setelah mengikuti suami yang berdinas sebagai duta besar, seorang istri diplomat pernah berucap bahwa Indonesia tergolong negara yang tidak pernah mengalami hari-hari yang membosankan. Never a dull day, kata orang Inggris. Sinyalemen ini mengingat Indonesia sebagai negara besar berkembang dengan penduduk lebih dari 200 juta sedang mencari identitasnya maka hal tersebut wajar-wajar saja.

Apalagi mengingat situasi sekarang bahwa negara mengalami krisis multidimensi berkepanjangan ditambah permasalahan yang datang beruntun dan tidak kunjung menemui penyelesaian. Namun, di atas segalanya ada gunjingan isu yang kini meramaikan pusaran pembicaraan masyarakat. Rakyat merindukan kehadiran pemimpin ideal yang mampu mengatasi keadaan negara yang terpuruk dan menyelamatkan eksistensi bangsa.

Menghadapi kemelut keadaan ini ada baiknya kita kutip inti akhir tulisan Prof. Dr. Nurcholish Madjid berjudul "Jakarta sebagai Ibu Kota " dalam majalah (Panjimas edisi Oktober 2002). Sebagai syarat pemimpin yang ideal beliau mengetengahkan suatu wacana: Pemimpin dengan tingkat kualitas tinggi (good governance, trustworthy, accountability) sebagaimana ucapan Presiden Kennedy, yang tidak pernah bertanya tentang apa yang bakal diperolehnya untuk dirinya dari jabatannya, tetapi berusaha dengan keras dan jujur mewujudkan apa yang harus diperoleh rakyat dari jabatannya itu.

Dia bekerja dalam kerangka sistem yang terawasi, terkendali, tidak dalam kekhasan semata (otoriter). Ia menjalankan tugas dengan penuh ketulusan tanpa memikirkan apakah orang akan menyanjungnya, namun sadar penuh akan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Dicintai rakyatnya adalah suatu nilai tambah, namun tidak menjadi tujuan utama.

Dengan ketulusan ini, ia akan tampil sebagai tokoh yang tidak dibenci orang kecuali mereka yang barangkali mengidap rasa iri hati. Lebih dari itu semua, ia tidak akan menjadi pemimpin yang dicaci maki dan dihinakan.
Semoga kita menemukan pemimpin idaman yang dengan perkenan Tuhan dapat mewujudkan maslahat bagi rakyat secara keseluruhan.

Darmawan S
Cipete Selatan, Jaksel

----------------------

MARI HIDUPKAN RASA MALU
Dimuat di Media Indonesia, tanpa data tanggal.

Bak telaga yang tiada habisnya dalam hidup sebagai warga bangsa bernegara, sikap dan tingkah laku para founding father's, tanpa jemu menjadi suri tauladan dan sumber inspirasi. Ini terungkap saat kami membaca buku (pamflet) karangan William Oltman berjudul "CHAOS in Indonesia". Paling menarik, dalam salah satu tulisan Oltman mengisahkan salah satu pertemuan terakhirnya dengan Bung Hatta kira-kira pada 1966.

Mengikuti apa yang ditulis Bung Hatta dalam pertemuan itu menyinggung suatu isu dan yang waktu itu mulai terasa mengemuka serta mengeluh bahwa saat itu sikap seseorang mengenai rasa "malu" mulai berkurang.

Bung Hatta menilai sikap kaum muda terasa mulai kurang serasi dan senonoh terhadap orang tua dibanding dengan masa lalu. Dalam buku tersebut disinggung pula suatu analisis kebudayaan mengenai isu ini yang dirumuskan budayawan Nielsmulder. Kaidah malu dalam hal ini dianggap sarana mekanisme pendidikan dan sikap hidup (training).

Definisi itu kurang lebih digambarkan suatu sikap mendalam yang mendorong adanya keseragaman. Tetapi sekaligus berfungsi semacam hati nurani yang ikut mengendalikan tingkah laku seseorang That deeply internalized atitude fostering conformily at the same time functioning as a kind of conscience since its should control behaviour.

Bung Hatta mengharapkan pada dasarnya rasa malu itu berfungsi sebagai sekat penghalang (barrier) terhadap tingkah laku warga yang tidak jujut dan tidak menghormati nilai tata tertib masyarakat. Bung Hatta juga khawatir di segala pelosok Tanah Air saat itu menguak tanda-tanda erosi nilai-nilai dasar hidup bermasyarakat.

Sehubungan dengan ini budayawan terkemuka di Ibu Kota baru-baru ini mengungkapkan rasa malu itu dapat dikategorikan dalam tiga bentuk :

1. Malu yang diketahui jeleknya oleh lingkungan sekelilingnya dan memperoleh sanksi dari masyarakat.
2. Malu akibat perbuatan sendiri (guilty feeling)
3. Malu akibat berbuat dosa (hukuman dari Allah)

Menurut budayawan tersebut, kenyataan menunjukkan dalam masyarakat yang kini menghadapi multikrisis, sanksi yang diberikan tiga bentuk malu diatas sudah sulit dijalankan sehingga harus diusahakan suatu modus lain untuk menghidupkan budaya malu yang memperoleh sanksi efektif.

Berkaitan dengan ini, penulis Mohammad Sobari mensinyalir pergeseran wawasan yang tadinya bernuansa rohani beralih tajam ke materi. Dulu wajah kita tipis, peka, mudah risi dan malu. Kini, sering wajah itu - karena materi dan pangkat - menjadi tebal bagai tembok. Sungguh, perlu mencari keseimbangan antara kedua bentuk orientasi diatas.

Untuk itu, kami sepenuhnya setuju dengan apa yang diutarakan dalam kesimpulan tulisan Pemred Media dalam tulisan berjudul "Indonesia Sedang Gundah" (9 Agustus 2003) yang menganjurkan agar dipikirkan reformasi sikap/tingkah laku (termasuk rasa malu) anak negeri dan syukur menuju suatu sistem yang konduksif mengakomodasi efek negatif globalisasi yang tengah melanda Tanah Air. Mudah-mudahan masalah yang begitu sensitif dapat diusulkan sebagai agenda penting dalam Kongres Kebudayaan V pada 28 Oktober 2003 di Bukittinggi, Sumbar.

Demikian usulan kami mudah-mudahan bermanfaat.

Darmawan Soetjipto
Cipete Selatan, Jaksel

----------------------

BERSATULAH BANGSAKU !
Dimuat di Tabloid Cek & Ricek, tanpa data tanggal.

Dengan rasa haru kami menyampaikan selamat atas prakarsa wartawan Indonesia yang mencetuskan deklarasi gerakan "Bersatulah Bangsaku" (BB) tanggal 20 September 2002.

Syukur karena suatu pilar utama masyarakat yaitu dunia pers belum hilang nyali mengusahakan bangkitnya semangat dan solidaritas rakyat Indonesia hidup sebagai bangsa dan negara.

Upaya berbentuk gerakan semacam itu mengingatkan kita pada suatu gerakan masyarakat pada permulaan revolusi tahun 1945. Kecuali berjuang secara fisik maupun diplomasi, berbagai unsur masyarakat berkiprah menjual lencana bendera merah putih (kecil) sebagai tanda identifikasi bangsa.

Di AS pun kini sesudah terjadinya krisis 11 September 2001 marak dikerahkan gerakan menggunakan lencana bendera kecil dalam rangka upaya memulihkan kepercayaan diri bangsa.Kami usulkan kiranya sebagai gerakan nasional kiranya dapat diusahakan penyebaran (dijual/percuma) lencana bendera merah putih kecil dengan bertuliskan slogan dibawah yaitu : SETUJU ( Setia, Tulus, Jujur )

Tentunya segala kegiatan gerakan diatas tidak terlepas dukungan logistik. Berbarengan dengan penyebaran lencana, ada baiknya difikirkan suatu bentuk dana yang pernah dikenal zaman revolusi yaitu antara lain FKI (Fonds Kemerdekaan Indonesia). Namanya tidak penting, yang utama adalah "menggugah" kepedulian masyarakat untuk mendukung gerakan nasional (BB) diatas. Tidak lain kami do'akan sukses dan terima kasih.


Darmawan S.
Cipete Selatan
Jakarta Selatan

---------------

posted by bambang  # 8:59 PM
Wonogiri, 4 Februari 2004

Yth. Bapak Darmawan Soetjipto
di Jakarta

Assalamu alaikum Wr.Wb.,

Semoga Bapak Darmawan senantiasa dikaruniai Tuhan dengan kesehatan, kesejahteraan dan gairah untuk terus berkreasi, menulis surat-surat pembaca yang hebat dan mencerdaskan anak bangsa. Terima kasih untuk atensi dan surat Bapak, beserta lampiran contoh surat-surat pembaca yang telah Bapak tulis selama ini. Lampiran itu telah saya baca, dan saya langsung tertarik untuk mengagumi kedalaman isi serta wawasan Bapak yang sangat berguna bagi kita sebagai bangsa.

Merujuk hal di atas, maka sungguh suatu kebanggaan bagi kami di Epistoholik Indonesia (EI) karena kami semua kini berpeluang berkenalan dan berinteraksi dengan gagasan-gagasan Bapak di masa depan. Terima kasih, Bapak Darmawan.

Menjawab pertanyaan Bapak Darmawan Soetjipto mengenai visi dan misi EI, dapatlah kami jelaskan bahwa sebagai suatu komunitas jaringan, atau network, misi utama EI adalah membangun komunitas penulis surat pembaca se-Indonesia dimana antarwarganya bersemangat tulus, untuk saling memberi semangat kepada sesamanya, agar giat berkiprah menulis, guna menyumbangkan gagasan kritis yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Sementara itu, saya pribadi juga sangat menyetujui sinyalemen Bapak Darmawan bahwa cetusan ide EI itu tepat momentumnya seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi yang cepat membuka kemungkinan-kemungkinan luas yang tadinya tidak terbayangkan untuk berkomunikasi. Antara lain, karena ide EI itu juga diilhami oleh isi bukunya Nicholas Negroponte, Being Digital, seputar perkembangan TI juga.

Negroponte menandaskan bahwa Internet mampu menyambungkan komunikasi antargenerasi, kaum pensiunan dengan generasi anak-cucu mereka. Para pensiunan itu adalah the untapped resources, sumber daya intelektual dan kebijakan yang belum digali. Padahal mereka itu memiliki kecerdasan, wawasan, pengalaman, wisdom, kearifan, juga optimisme, sampai perasaan semakin dekat sama Tuhan, yang alangkah baiknya bila kita-kita yang lebih muda ini sudi belajar banyak dari mereka.

Yth.Bapak Darmawan Soetjipto,
Impian saya (you may say I’m a dreamer, but I’m not the only one - kata John Lennon) tentang masa depan EI, antara lain, bahwa pembuatan situs untuk warga EI di Internet itu merupakan entri atau teaser agar para warga itu sudi menulis lebih banyak lagi. Surat-surat pembaca mereka itu, menurut saya, belumlah madu atau cream sebenarnya dari keistimewaan para warga epistoholik. Madu, harta karun para beliau itu, masih tersembunyi. Maka, harta karun itu jadi PR untuk kita gali, pelan-pelan, tujuan akhirnya yang pertama adalah demi kebaikan bagi mereka sendiri dan sekaligus mengalirkan kebaikan bagi komunitas dalam bingkai luas.

Bapak pernah nonton kuis populer Who Wants To Be A Millionaire ? Dalam segmen Ask the Audience, rata-rata jawaban yang diberikan oleh banyak orang itu benar. Mengopi adegan semacam itu saya angankan, kelak interaksi komunitas epistoholik di Internet seperti adegan Ask the Audience itu nantinya.

Misalnya ada anak-anak bertanya tentang sesuatu problem hidup, maka jaringan para epistoholik dengan spesialisasi masing-masing, lewat Internet dan dari pelbagai pojok dunia, memberikan jawaban atau saran-saran. Kalau mungkin dari pelbagai jawaban itu dibuatkan skor. Lalu dipersilakan si anak tadi, berdasarkan masukan para senior tadi, untuk menentukan pilihannya. Bila pun salah, ia akan juga tetap memperoleh hikmah dan pelajaran berbuat salah itu. Hal serupa dapat dibalik, ketika para orang tua justru berguru kepada mereka-mereka yang lebih muda.

Dari interaksi antargenerasi semacam ini akan membuat para manula kita merasa diwongke, otaknya bakal jalan terus, terhindar dari loyo dini, terhindar dari isolasi, membuatnya merasa awet muda, merasa berguna, dan saya yakin ini akan mampu membahagiakan mereka pula. Apalagi, kata pakar, salah satu penyakit universal yang pelan, tujuan akhirnya demi kebaikan bagi mereka sendiri dan makin mengalirkan kebaikan bagi komunitas dalam bingkai luas.

Yth.Bapak Darmawan Soetjipto,
Itulah sekadar cerita lanjutan tentang impian EI di masa depan. Mohon Bapak engga kaget karena saya senang memakai idiom impian. Sebab tahun 2002 lalu, saya pernah ikut kontes penulisan esai bertopik the power of dreams, diselenggarakan oleh pabrik mobil Honda. Alhamdullilah, saya menang, dan sejak itu saya semakin meyakini kekuatan sebuah impian.

Oh ya, pencetus EI adalah saya sendiri. Saya seorang penulis free lance, kelahiran 24/8/1953. Tahun 1980-an pernah kuliah di UI. Untuk melestarikan dan menyebarkan gagasan dan wawasan Bapak Darmawan, maka kini telah saya buatkan situs blog untuk Bapak. Untuk menceknya, silakan kunjungi : http://darsu.blogspot.com

Untuk melengkapi info mengenai profil Bapak sebagai epistoholik, mohon kiranya Bapak Darmawan nanti dapat menyertakan data susulan mengenai (1) biodata ringkas Anda, (2) minat khusus mengenai topik-topik/subjek isi surat pembaca Anda, (3) sejak kapan, (4) mengapa Anda menekuni hobi sebagai epistoholik, (5) sudah berapa banyak surat pembaca yang Anda tulis, dan (6) adakah hal-hal/pengalaman/suka-duka yang menarik selama menekuni sebagai epistoholik ?

Semoga cerita sana-sini ini dapat bermanfaat. Ayo terus menulis ! Sampai jumpa di kontak mendatang !

Wassalamu alaikum Wr.Wb.,

Hormat saya,


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia


P.S. Mohon maaf, Bapak Darmawan, saya/EI belum punya fasilitas mesin fax. Kami mengandalkan fasilitas e-mail, walau pun untuk itu juga masih harus ke warnet. Terlampir kisah terbaru mengenai idola kita, yaitu Pak Anthony Parakal. Lampiran lainnya, logo Epistoholik Indonesia. Penciptanya sama dengan pencipta logo Galeri Nasional di Jl. Merdeka Timur, Jakarta, biro travel haji Fath Indah (Jawapos Group) di Surabaya, dan logo Hut ke-15 Magister Manajemen UGM.



posted by bambang  # 5:56 AM

Archives

02/01/2004 - 03/01/2004   04/01/2004 - 05/01/2004  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?